Jumat dan Taipan Mengancam?

Mungkin kekuatan hati ini tidak dicamkan oleh konglomerat dan taipan belum lama ini saya baca di media, mengancam akan menarik investasinya di Indonesia. Entah ancamannya serius atau tidak, karena belum tentu juga akurat – – lagi-lagi harus saya tulis begini demi UU ITE yang baru, karena saya belum konfirmasi ke sang taipan.

Jika saja kalimat sang taipan akurat, saya hanya ingin bilang: pasar ente di Indonesia utamanya, usaha berawal dari Indonesia, hingga kini mengkonglomerasi.

Saya kebetulan mengikuti perkembangan kalian, apalagi pada penghujung 1980-an pernah menjadi wartawan ekonomi. Saya beberapa kali memandu diskusi terbatas perbankan rutin bulanan di Executive Lounge, Hilton, dimana sosok seperti Kamardi Arif, Widarsadipraja, Omar Abdalla, Kukuh Basuki dan direksi bank pemerintah lain selalu hadir di kiri dan kanan saya.

Kenyataan itu membuat saya mendapat cerita dari tangan pertama bagaimana kredit tambun dicurahkan ke kalian. Pemerintah mendukung agar ada namanya trickle down effect.

Kemudian apa yang terjadi.

Ketika kebijakan Pakto 1988, beberapa dari kalian dapat mendirikan bank swasta hanya dengan modal Rp 10 miliar. Modalnya dominan juga dari nama-nama saya sebut di atas. Mereka “dewa” bank pemerintah pemberi kredit tambun.

Kemudian apa yang terjadi?

Kalian langgar legal lending limit, batasan kredit ke grup sendiri. Kalian tabrak capital adequacy ratio, perbandingan modal dan aset. Belum puas “pesta” dana untuk investasi melabrak dua hal tadi, agar lebih oke, kalian lobby lagi pemerintah agar batasan mendirikan bank swasta hanya boleh dengan modal Rp 50 miliar. Sehingga kalian-kalian sajalah pemainnya. Maka awal 1990 ke luarlah peraturan itu

Apa yang terjadi?

Pelanggaran dua hal di atas angkanya juga makin naik. Seiring dengan itu, kalian memanfaatkan pasar modal, restrukturisasi modal dengan dana murah di bursa. Kalian makin jaya. Namun kelakuan pembiayaan terindikasi tajam disalah arah, dana jangka pendek digunakan investasi jangka panjang, maka ekonomi kepanasan, sampai harus ada BPPN, hingga harus ada dana rakyat untuk kalian berupa BLBI, belum lagi skala menengah meminta hair cut.

Apa yang terjadi?

Memang beberapa aset kalian harus masuk BPPN. Tetapi berikutnya dari negara tax heaven country, kalian “pesta” lagi dengan membeli aset itu kembali hanya di kisaran 20% saja dari nilai aset. Kalian kian hebat berglobalisasi. Dalam telaah saya, kalian juga jagoan melakukan transfer pricing, akal-akalan pajak. Kata OECD, hampir 65% transaksi perdagangan Indonesia terindikasi transfer pricing. Angkanya kini sudah lebih Rp 2000 triliun setahun.

Apa yang terjadi?

Paparan di atas memang pemainnya kelas kakap. Mereka semula kita tahu bersama berawal dari mana dan dalam posisi kekayaan apa. Panjang secara data dan akurasi dapat saya tuliskan di sini, mungkin kalau katanya ada dialog nasional saya siap memaparkannya.

Lantas apa yang terjadi?

Pindah saja ke era kekinian. Kalian juga dapat kemudahan tax amnesty, bukannya transfer pricing kalian dikejar, maka saya mengistilahkan rakyat kebanyakan dihisap darah, dikikir tulang lalu ditimpuk kepala, berdarah, ditetesi cuka, begitulah nasib rakyat kebanyakan menyimak kalian.

Apa yang terjadi?

Politik kalian mainkan. Beberapa dari kalian punya partai politik. Bahkan taipan di Singapura, tidak pulang-pulang ikut membiayai partai baru. Karena di tengah situasi oligarli fulus mulus, uang segalanya. Partai kereta kekuasaan.

Apa yang terjadi?

TVRI pun kalian kebiri dengan tameng Undang-Undang. Mana ada teve negara di dunia nasibnya diseperti-TVRI-kan???

Sebaliknya frekuensi ada ranah publik kalian “rampok” hak dasarnya dengan seakan menjadikan televisi mu itu negaramu sendiri.

Lantas apa yang terjadi?

Seperti hari ini. Rasa keadilan, kebenaran seakan milik satu dua orang, satu dua kelompok. Padahal mayoritas warga di Indonesia orang berbudi baik. Orang-orang bekerja dan beramal. Mereka beribadah, mereka mayoritas tahu menjaga toleransi. Mereka dominan paham mati hanya berbungkus kafan.

Sulit bagi kalain untuk membulli saya. Mungkin ada menuding rasis. O, oooo, tunggu dulu, beberapa perjalanan waktu, saya terdepan meng-advokasi David yang dibunuh di NTU, memverifikasi 17 orang hilang dari Serui ke Mamberamo, separuh keturunan Cina – – dalam perjalanan ini saja beberapa kali kami makan malam dengan kawan keturunan.

Hingga hari ini saya masih berkutat mencari seorang anak gadis keturunan raib di Australia. Belum lagi bentuk pertemanan dan persahabatan lain terus berjalan dalam skala usaha, jauh dari urusan pri dan non pri. Tak ada urusan dengan perbedaan kulit. Keindonesiaan kita dengan kebhinekaan sudah selesai. Agar kalian lebih mafhum, untuk ranah kemanusiaan, contoh kasus David, penggalangan dana di Facebook, lebih 80% penyumbang Melayu. Salah satu contoh tak ada urusan dengan perbedaan.

Apa yang terjadi?

Hanya beberapa gelintir dari yang dibesarkan negara itu kini telah ingin lebih dari negara, menguasai negara. Termasuk memaksakan kehendak menempatkan boneka demi menyetir negara dan bangsa. Tak perduli boneka itu orang psikopat, orang cacad dan atau memang sosok brilian. Premis utama harus bisa disetir, demi bisnis dan politik. Ini kan yang kian mau?

Di sinilah menjadi tak pas.

Inilah menjadi lucu. Kalian berkopiah ke masjid, bertemu tokoh ulama, berkopiah-kopiah. Tahu tidak kalian kopiah terbaik salah satunya tetap buatan Sarbini, Sumbar.smile emoticon

Lucu dan sangat lucu.

Pepatah Minang bilang di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kok kalian seakan di mana kalian ada terindikasi tajam kini ingin menguasainya? Ingin sekehendak hati kalian? Termasuk menginjak hukum dan keadilan? Belum pernah dalam sejarah republik, lembaga seperti BPK direndahkan derajadnya sehingga tampak hina oleh oknum boneka kalian pelihara.

Nah sampai di sini, saya hanya ingin mengatakan kalian datang dengan ide rembuk dan dialog nasional? Jika kalian mau mendengar, saya siap hidangkan. Jangan takut, saya dulu 1990 pernah bantu kok go public salah satu konglomerasi dari kalian. Tapi saya juga tahu sosok vital di perusahaan kalian itu mundur, karena kalian sangat rakus menghalkan segala cara, terlalu takzim seakan uang tak mengenal negara alpa akan Merah Putih.
Jika orang Medan bilang ini Medan Bung. Saya mau tulis ini Indonesia laupan!

Saya tak membenci kalian. Secara personal saya terdepan membela kalian yang dizalimi. Tetapi ada persoalan berbangsa dan bernegara kita harus dibenahi: jawabnya segera, kudu.

Sehingga Jumat tanggal 2 pekan ini, bukan hendak menguliti siapapun saya sangat setuju. Allah SWT bila berkehendak, menggerakkan hati-hati suci tak akan ada bisa membendung-Nya. Mari beribadah dengan senyum dan tawa, dengan riang dan gembira.

Mungkin inilah momen visualisasi kesucian hati.

Karenanya tanggal 2 nanti mari umat, ibadah jangan sampai ada yang mengotori.

Ruh komunikasi massa: hati nurani, akal, budi sudah dapat kita simak: ada teve minta diamankan, untuk tanggal 2 itu, harusnya tanya ke lubuk hati pemilik, pengelola, warga yang ngawur atau dirimu sangat ngaco?

Sampai di sini dulu kawan, maaf, kepanjangan. Doa selalu agar hati kita bersih. Semoga. Aamiin.

# @Iwan Piliang

Leave a Reply